Aku
ingin menulis tentang perjanan hidup
seorang pemuda. Tentang rasa penasarannya yang tinggi pada
apa yang sedang terjadi, yang tidak seharusnya terjadi dan apa yang seharusnya
terjadi pada dunia hari ini. Dia sempat menyimpulkan bahwa dunia yang didapatinya
sedang tidak baik baik saja. Dia mulai
memikirkan bagaimana ini semua dapat terjadi. Idealismenya menghantarkannya
seolah menjadi dokter mengidentifikasi penyakit dan seolah mampu menyediakan
obatnya. Tidak hanya sebatas itu dia juga larut kedalam persahabatan dan cinta.
Dia merasakan bagaimana rasanya terjun kedalam filsafat, dia larut dalam kajian
sufistik, dia begitu membara didalam pembahasan tentang konspirasi, dia fanatik
terhadap gerakan revolisioner, mencari kebebasan dan ketenangan sampai ia
melihat sebuah kitab yang membuatnya pasrah dalam batas batas rasional dan
merekonstruksi ulang bagaimana peradaban itu dapat dibentuk.
Peradaban
sudah ada sejak manusia pertama hadir di bumi ini. Entah seperti apa namun
peradaban tidak akan pernah berhenti dan tidak pernah berakhir selagi masih ada
manusia hidup di atas bumi. peradaban yang seperti apa itulah yang menjadi
kajian pemuda pemuda ini.
Sore
itu senja jingga. Langit menampilkan lukisan matahari dengan rekah cahaya yang
mencari celah diantara awan. Seolah ingin tenggelam selamanya, matahari ingin
melihat hamparan bumi untuk terakhir kalinya. Ai, dan Bi sedang berjalan kaki
dengan santai sore itu keluar menjauh dari padat dan riuhnya jalanan, sebatang
rokok terbakar menempel diantara bibir Ai. Bi seperti biasa mengenakan sweater
santainya dengan topi usang bertulis convers. Ai berkata pada bi di sepanjang
jalanan itu. “Bi, dunia tidak akan pernah merasakan nikmatnya pemandangan
seperti di sore ini”. Mereka sibuk dikejar deadline. Dengan sepenuh jiwa raga
mereka bekerja, tapi apa yang mereka dapatkan? Pertengkaran dirumah dan tidak
juga kaya raya. Asap - asap pabrik itu menghasilkan harta karun pada pemilik
pabrik. Dan para sales dan karyawan itu menghasilkan ferarri baru untuk bossnya
setiap tahunnya”. Bi menjawab dengan santai. “Ai, kau tidak akan pernah
mengerti kompleksitas yang sebenarnya terjadi pada orang orang”. “Kau tidak
mengerti apa yang membuat mereka melakukan hal hal itu. kau tahu pengangguran
semakit banyak. Pekerjaan begitu sulit”. Begitu tak berimbang. Padahal ilmu
dasar untuk bertahan hidup adalah keseimbangan. Kurasa banyak yang lupa itu. Ai
dan Bi sampai di perpisahan jalan. Mereka berpisah ke arah rumahnya masing
masing.
Manusia
mungkin punya berjuta alasan untuk melakukan apa yang mereka inginkan, beberapa
mungkin tak butuh alasan, yang terpenting gaji datang tiap bulan, tidak ada
pemecatan, dan bisa hidup dengan cara yang mereka inginkan di akhir pekan.
Orang juga banyak mengatakan bahwa hidup
ini adalah proses, karna jarang ditemui seorang karyawan yang betah tetap
menjadi karyawan di perusahaan yang sama dan di posisi yang sama selama puluhan
tahun. Karna sejatinya manusia butuh yang disebut dengan pengembangan diri.
Ai,
adalah seorang sarjana yang menghabiskan waktu menganggurnya dengan mendatangi tempat
tempat yang dapat menginspirasinya menulis beberapa bait di sosial media.
Tempat yang kerap dikunjunginya adalah tongkrongan anak anak di pinggiran rel,
anak anak jalanan dengan gitar kecil melingkar ditubuhnya dan tempat tempat penuh
berkah lainnya. Dia menyukai keringat para buruh, tapi hanya dari jauh. sebab
kalau sudah berinteraksi pasti dia menangkap hal yang tidak baik dari buruh
tersebut, mulai dari gesturnya, pembicaraannya dan pola pikir konservatifnya.
Jadi dia lebih senang untuk memandanginya saja agar dia tafsirkan sendiri
kesabaran dan semangat si buruh. Dia pernah mencoba berjualan, dengan sepeda
motornya dia menjajakan jualanya di pelataran parkir sebuah toko. Pagi hingga
petang. Bau badan akibat sengatan matahari seperti sudah berteman baik dengannya.
Dia
sering ditabuhi ambisi, tentu saja manusia mana yang tidak dihinggapi ambisi.
Dan sebanyak orang yang memiliki ambisi sebanyak itu pula yang dipecundangi
ambisinya sendiri. bahkan ambisi manusia yang berubah ubah, berubah ubah pula
cara ambisi mempecundangi inangnya. Tapi meski begitu, beberapa orang memaknai
ambisi sebagai harapan yang mesti harus ada sebagai bahan bakar menjalani
hidup. Maka biarlah aku di pecundangi ambisi berkali kali untuk perputaran
hidup yang masih dapat diarungi.
Bi
datang kerumah ai. Tok tok, “hai dirut PT. PNS , pagi nunggu sore, tadi
kesiangan gak nganggurya? Ingat meskipun kita nganggur kita gaboleh telat
hahaha”.
Ai
bangkit dari tempat baringannya, “yok bi, ikut aku, aku mau jumpai seseorang”.
Mereka menaiki sepeda motor yang dahulu dipakai ai berjualan. Beberapa menit
kemudian melewati padatnya jalan mereka sampai kesebuah pekarangan rumah yang
luas, ada beberapa pohon tinggi, hingga memberikan nuansa yang berbeda dari
jalanan yang panas padat dan gersang ketempat yang rindang, sejuk dan tenang
meski rumah itu masih dalam kategori dalam kota.
“Assalamualaikum
ustadz”, ucap Ai. Tak berselang lama, seorang pria bersorban putih dengan
pakaian santai rumahan keluar. “Waalaikumsalaam”. Ai dan bi menyalami ustadz
tersebut.
“Ustadz
pakai sorban tapi bajunya kaos ya ustadz, apa ini fashion para ustadz kalau
dirumah hehe” ai bergurau.” Ah tidak saya baru pulang dari pengajian rutin rabu
jumat di masjid nurul iman. Nah ada apa ini ai dan...,” sambil menghadapkan
matanya pada bi. “Saya bi ustadz saya temen ai saya masih berkuliah saat ini”.
Potong bi merespon kebingungan ustadz.
“Nah
jadi begini ustadz, seperti yang ustadz sarankan kemarin, saya melihat bahwa
kemunduran cara berfikir umat islam ditenggarai oleh perilaku yang tidak
didasari oleh semangat sosialisme ustadz. Tidak ada kita melihat adanya rasa saling
memiliki pada diri setiap muslim. Kita lebih condong kepada kapitalisme yang
mana manusia saling mendominasi manusia lainnya. Dan ukhuwah yang terporak
porandakan memercik terjadinya perang saudara di negara negara islam di abad 21
ini, seperti di mesir, di tunisia, di libya bahkan ketidak pedulian saat
palestina dijajah israel, uighur di diskriminasi pemerintahnya serta rohingya
yang dibantai agama mayoritas di negaranya juga kashmir dan muslim india yang
hampir tidak aman bagi minoritas. Berakhirnya islam dan cara hidup serta
kemuliaannya adalah pada tahun 1924 di Turki sebagai khilafah islamiyah. Kini
malah pemerintah kita yang anti terhadapa berdirinya khilafah.
Suara
burung yang bertengger di dahan dahan yang ditembus sinar matahari menemani
perbincangan hangat ai, bi dan sang ustadz. Hingga menjelang sore ai dan bi
masih bersemangat mengikuti diskusi dan pencerahan dari sang ustadz
Islam
itu luas ai, tidak bisa hanya dibahas dari segi berkuasanya atau politiknya
ataupun siasahnya. Islam lebih dari itu. ingat firman allah yang mengatakan
bahwa meraih syurga adalah kemenangan yang nyata bagi muslim. Perintah allah
jelas bahwa dalam islam untuk menjalankan apa apa yang diperintahkan dan apa
apa yang dilarang membutuhkan ilmu pengetahuan.al quran dan hadist adalah
sumber hukum yang kita harus jadikan rujukan. Maka muncullah bab tentang
aqidah, lihatlah apa yang tejadi dengan
aqidah kita ahlussunnah wal jamaah. Dahulu sudah ada islam beraqidah syiah
rafidhah yang mencoba menggerogoti aqidah kita. Ada berita pula mereka yang
membeantu hulagu khan untuk dapat meluluh lantakkan khalifah abbasiyah di
baghdad. Bagaimana soal aliran Jabarriyah yang menolak taqdir yang tidak
mempercayai taqdir yang allah adalah maha mengetahui, dan mereka mengatakan
bahwa allah hanya mengetahui sesaat setelah itu
terjadi. Dan soal jabbariyah yang mengatakan bahwa semua perilakunya
adalah karna telah ditetapkan allah, berzinah, berjudi, membunuh dan dosa dosa
lainnya karna allah sudah menentapkan seperti itu hingga ia mengatakan bahwa
aku begini karna Allah. Allah lah yang harusnya bertanggung jawab.”
Apa
benar ada aliran yang seperti itu ustadz? Tak dapat dibayangkan. Bi mengatakan
pada Ai, makanya jangan sosialis sosialis mu aja yang ko bawa bawa, ga tau kau
kan banyak tendensi antara umat islam. Masak alumni diajarin lagi sama
mahasiswa, haha..bi, mengejek.
Jabbariyah,
qodirriyah tentu ini terkait dengan prinsip dan keyakinan, dan dapat
disebut sebagai identitas sebuah kelompok.
Tentu identitas yang berbeda apalagi
dalam konteks keyakinan sulit untuk di toleransikan.dan mengkaji jalan
tengahnya membutuhkan teh manis hangat nih ustadz celetuk Ai yang ternyata
kehausan. Hahaha
Ustadz
pun masuk memanggil anakanya yang wanita, lalu keluar lagi sebbab mereka duduk
di semacam pondok dari kayu beratap rumbai rumbai di pekarangan rumah sang ustadz.
Tak beberapa berselang angin sepoi menambah kadar ayunanya sang wanita dengan
tiga buah gelas diatas talam yang dipangku kedua tangannya datang menghampiri
pondok.Ai dan bi saling tatap menatap, lalu kembali melihat perempuan itu. eh
eh, sang ustadz menyadarkan ke Haluan dua pemuda ini. Ini tehnya di minum kata
ustadz. Ohh iya ustadz, lanjut aja pembahasanya kayaknya kita uda seger duluan.
aduh pemuda zaman sekarang pemabahsannya kritis, ngeliat perempuan kritisnya
jadi krisis.
Pembahasan
mereka pun berlanjut. Tak lama kemudian datang sebuah telpon dari Ce. Ai pun mengangkat telponnya. Halo
assalamualaikum ce. Waalaikumsalaam. Ai segera berpamitan pada sang ustadz
bergegaas beranjak. Bi yang tidak mengerti apa apa latah mengikuti perangai Ai.
Ustadz kita izin berangkat dulu ada panggilan mendesak. Ohh iya tidak apa apa.
Doakan kita baik baik saja ya ustadz. Ai menghidupkan motornya mereka mulai
bergerak barulah Bi menanyakan, Ai apa yang terjadi? Si Ce di tabrak orang dia
sekarang di warung kopi yang kita sering kunjungi, kopi bang bewok.
Sesampai
di lokasi sudah didapati seorang berpakaian polisi, seorang berpakaian dishub
mereka beranjak pergi dari tempat itu. temanku Ce berbaring di salah satu
bangku di warung itu. ce gimana keadaanmu? Kulihat darah segar mengalir
diantara jari kaki dan tanganya. Dan dia mengatakan kaki ku kayanya terkilir.
Yang lain gimana ada lagi yang sakit. Udah ini aja. Sepeda motorku itu la liat
entah kekmana bentuknya. Gimmana kronologinya, kok bisa?. duh jangan banyak
tanya dululah ko dekatkan dulu rokok sama mancis itu. ai pun menggeserkannya.
Ce menghisap asap pertamanya. Di hantamnya aku pake mobil sedan hitam yang
parkir itu. aku mau nyebrang dari sisi kiri ke sisi kanan sudah kulewati batas
lajur kiri. Mobil itu kuperhatikan sedari jauh, sudah kuukur tidak akan kena.
Ternyata mobilnya masuk ke lajur kanan, aku yang baru mau meluruskan kereta
dihantamnya. Bi langsung beranjak mencari siapa pengendara. Woi mana orangnya,
apa maksud kau nabrak dia. Bi terbawa emosi. Sengaja kau ya?!! Teriak Bi. Bi
memegang kerah baju salah satu orang diantara dua orang itu.